Eksplorasi Wisata Kuliner Legendaris di Kota Medan. Di akhir 2025, Medan masih jadi surga kuliner yang nggak pernah tidur. Kota ini bukan cuma ibu kota provinsi, tapi juga pertemuan rasa Melayu, Tionghoa, Batak, Jawa, India, sampai Arab yang sudah berpuluh tahun berbaur di satu piring. Dari pagi sampai tengah malam, aroma durian, soto, kari, dan wajan panas selalu menguar di mana-mana. Ini daftar tempat legendaris yang wajib dikunjungi kalau kamu lagi di Medan—semuanya masih bertahan dengan resep turun-temurun dan antrean yang nggak pernah sepi. BERITA BOLA
Selera Pagi: Soto dan Lontong Legendaris: Eksplorasi Wisata Kuliner Legendaris di Kota Medan
Pagi di Medan dimulai dengan dua raja: Soto Kesawan yang kuahnya bening tapi gurihnya nendang, pakai suwiran ayam kampung, perkedel, dan kerupuk merah. Tempatnya sudah ada sejak 1950-an, masih pakai meja kayu dan kursi rotan, pelanggannya dari pejabat sampai tukang becak. Lontong Sayur di Jalan Mojopahit yang buka jam 6 pagi dan habis sebelum jam 9. Kuah santan kuningnya kental dengan telur, tahu, dan kerupuk kulit, ditambah sambal tauco yang bikin orang balik lagi besok. Kalau datang telat, tinggal tulang doang.
Siang Panas: Nasi Kari dan Bihun Bebek: Eksplorasi Wisata Kuliner Legendaris di Kota Medan
Saat matahari di atas kepala, orang Medan lari ke dua tempat ini: Rumah makan kari di Jalan Cik Ditiro yang resepnya dari India-Muslim sejak 1940-an. Nasi putih disiram kari kambing kental dengan kentang dan wortel, ditambah acar bawang dan emping—satu piring nggak pernah cukup. Bihun Bebek Asie di Jalan Kumango yang antreannya bisa sampai ke trotoar. Bebeknya empuk karena direbus lama dengan rempah Cina, bihunnya halus, kuahnya bening tapi penuh rasa jahe dan bawang putih. Tambah telur asin dan sambal hijau, langsung lupa panas.
Sore sampai Malam: Sate dan Martabak
Sore hari, aroma sate mulai menyerang: Sate Memeng di Kesawan yang sudah bakar sate sejak 1960-an. Daging kambingnya empuk tanpa bau, bumbu kacangnya kental dengan campuran ketumbar dan kemiri sangrai. Pilihan ada sate biasa atau sate gulung lemak—yang terakhir itu bikin orang rela antre sejam. Martabak di Selat Panjang yang tebalnya hampir 5 cm. Ada yang manis dengan cokelat-keju-kacang, ada yang asin dengan telur bebek dan daging cincang. Kulitnya renyah luar, lembut dalam, selalu habis sebelum jam 10 malam.
Penutup Manis: Durian dan Es
Nggak sah ke Medan tanpa durian. Ucok di Jalan KH Wahid Hasyim atau di Jalan Mojopahit selalu ramai—duriannya manis legit dengan daging tebal. Kalau takut bau, ambil pancakenya atau es durian yang dicampur ketan hitam. Kalau lagi malam dan butuh dingin, mampir ke es kacang merah atau es campur di Jalan Semarang—kacang merahnya empuk, santannya harum, dan cincaunya kenyal. Satu mangkok bisa bikin kamu lupa hari yang panas.
Kesimpulan
Medan bukan kota yang cuma dilewati—ia kota yang harus dirasakan lewat lidah. Tempat-tempat legendaris ini bukan cuma soal makanan, tapi soal cerita, resep turun-temurun, dan orang-orang yang masih setia datang meski antrean panjang. Datang dengan perut kosong, dompet agak tebal, dan waktu yang longgar—karena sekali kamu mencicipi kuliner Medan, kamu bakal selalu punya alasan buat balik lagi. Selamat makan, dan sampai piring kosong sebelum kamu sempat foto!